Kamis, 16 April 2009

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara

Oleh : Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari


Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.

Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut konsep Islam, 'yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan orang-orang shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.[An-Nisaa : 58]

Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat. Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali رضي الله عنهم maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.

Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).

Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:

[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.

[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.

[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.

MAKNA PEMUNGUTAN SUARA
Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar'i yaitu syura (musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.

MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya:

[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk wasilah yang diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan umat.
[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14] Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
[19]. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.
[20]. Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.
[22]. Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.
[23]. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
[24]. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.
[25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46.
[26] .Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.
[27]. Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.
[28]. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda: "Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita". [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]
[29]. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
[30]. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
[31]. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.
[34]. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.
[35]. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.
[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.

Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !

Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil tersebut ?!

Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:

Maka apakah patut bagi Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]

Pada saat bangsa ini sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya adalah dengan kembali kepada dien yang murni sebagaimana firman Allah

Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]

Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:

Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali ke dien kalian.

Kembali kepada dien yang murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??

Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye (jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi sibuk mengurusi urusan politik -padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta tidak lagi menuntut ilmu.

Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi' (realita)."

Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka- atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta'an

Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999, Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]


SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
[1]. Mereka mengatakan: Bahwa sistem demokrasi sesuai dengan Islam secara keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan syura (musyawarah) berdalil dengan firman Allah

" Artinya :Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka".[Asy-Syuura : 38]

Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat.

Bantahan:
Tidak samar lagi batilnya ucapan yang menyamakan antara syura menurut Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan antara syura dan demokrasi !

Adapun yang membagi demokrasi ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih adalah pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya sendiri tidak dikenal dalam Islam.

"Artinya : Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk, (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm : 22-23]

[2]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara sudah ada pada awal-awal Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman رضي الله عنهم telah dipilih dan dibaiat. [Lihat kitab syari'atul intikhabat hal.15]

Bantahan:
Ucapan mereka itu tidak benar karena beberapa sebab:

[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan yang ditimbulkan oleh pemungutan suara seperti kebohongan, penipuan, kedustaan, pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya. Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun melakukan praktek-praktek seperti itu.
[b] Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi dan diketahui di dalam sejarah) telah bermufakat dan bermusyawarah tentang khalifah umat ini sepeninggal Rasul.

Dan setelah dialog yang panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang membawakan sebuah hadits yang berbunyi: "Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy." Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan seorang wanitapun di dalam musyawarah tersebut.

Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada musyawarah.

Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai anggota musyawarah untuk menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Keenam orang itu termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Adapun sangkaan sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf menyertakan wanita dalam musyawarah adalah tidak benar.

Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di dalamnya penyebutan musyawarah Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut, Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri (lihat Fathul Bari juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu Ashir dalam thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhkul Umam (4/431). Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif.

Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.

Kesimpulannya:
[a] Berdasarkan riwayat yang shahih Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan 5 orang yang ditunjuk Umar.
[b] Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga mengajak bertukar pendapat dengan sahabat lainnya.
[c] Adapun penyertaan wanita di dalam musyawarah adalah tidak benar sebab riwayatnya tidak ada asalnya.

[3] Mereka mengatakan: Ini adalah masalah ijtihadiyah'

Bantahan:
Apa yang dimaksud dengan masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan: yaitu masalah baru yang tidak dikenal di massa wahyu dan khulafaur rasyidin.

Maka jawabannya:
[a] Ucapan mereka ini menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada awal Islam.
[b] Memang benar pemungutan suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama menetapkan hukum setiap masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-kaedah umum. Dan untuk masalah pemungutan suara ini telah diketahui kerusakan-kerusakannya.

Jika dikatakan: yang kami maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti jawaban kami yang telah lalu.

Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya: kami mengetahui keharamannya, tetapi kami memandang ikut serta di dalamnya untuk mewujudkan maslahat. Maka jawabannya: kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada buktinya semenjak munculnya pemikiran seperti ini. Di negara-negara Islam tidak pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan hanya kembali dua sepatu usang (gagal).

Sedang Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Artinya : Seorang Mukmin tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih]

Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan diperselisihkan di kalangan ulama serta bukan masalah ijma'.

Maka jawabannya:
[a] Coba tunjukkan perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar (dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja mereka tidak akan mendapatkannya.
[b] Yang dikenal di kalangan ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau masalah yang diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak memiliki alasan atau dalil yang jelas dan dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau hanya mencari masalah khilafiyah, maka tidak ada satu permasalahanpun melainkan di sana ada khilaf atau perbedaan pendapat. Akan tetapi banyak di antara pendapat-pendapat itu yang tidak mu'tabar.

[4]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara tersebut termasuk maslahat mursalah.

Bantahannya:
[a] Maslahat mursalah bukanlah sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya, baru bisa diamalkan.
[b] Menurut defisinya maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak ada nash tertentu padanya dan masuk ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum ditetapkan oleh syariat.

Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu proses ijtihad untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi umat, yang belum disebutkan syariat, dengan memperhatikan syarat-syaratnya.

Kembali kepada masalah pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat mursalah tersebut apakah sesuai dengan tujuan maslahat mursalah itu sendiri atau justru bertentangan. Tentu saja amat bertentangan; dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang cukup menjadi bukti bahwa antara keduanya amat jauh berbeda.

[5]. Mereka mengatakan: Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik.

Bantahannya adalah:
Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga haram.

Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan.

Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.

Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat: [a] Niat ikhlas dan [b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya bermodal keinginan [i'tikad baik saja]

[6]. Mereka mengatakan: Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam.

Bantahannya:
Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan daulah Islam ?

Sedangkan di awal perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau memang ucapan mereka "Kami akan menegakkan daulah Islam" hanyalah slogan kosong belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya pada diri mereka sendiri.

Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut.

[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan.

Bantahannya:
Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandengan tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-Qur'an:

"Artinya : Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]

Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan:

"Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah: 120]

Lalu mengapa mereka saling bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani? Apakah mereka menerapkan kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang disepakati dan saling toleransi pada perkara- perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka takut pada firman Allah

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu ?)". [An-Nisaa: 144]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]


[8]. Mereka mengatakan: Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat.

Bantahannya:
Darurat menurut Ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa kesulitan bahaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan dan agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan perkara yang wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang dibolehkan syariat.

Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat?.

Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakan bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka berarti yang mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan untuk mencari maslahat, Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena sekedar mencari setitik maslahat.

[9]. Mereka mengatakan: Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara (berkhutbah).

Bantahannya:
Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan da'wah kepada jalan Allah hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata? Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar al-Giffari ketika Rasulullah صلی الله عليه وسلم berpesan kepadanya:

"Artinya : Tetaplah kau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh. Maka aku khawatir jika seseorang telah menghadang Rasulullah صلی الله عليه وسلم, hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau: tetaplah engkau di tempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap di tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku telah mendengar suara gemuruh, sehingga aku khawatir terhadap beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata kepadaku: barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah) yang wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata, walaupun dia berzina dan mencuri". [Mutafaqun alaih]

Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming dari tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Namun apa gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak ! Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan Rasulullah : tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga aku datang!.

Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin menyelamatkan beliau صلی الله عليه وسلم.

Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah صلی الله عليه وسلم berupa ilmu tentang tauhid yang dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga. Seandainya beliau melanggar pesan Rasulullah صلی الله عليه وسلم maka belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!

Demikian pula dikatakan kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat -red).

Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah.

[10]. Mereka mengatakan: Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara untuk memilih kemudharatan yang paling ringan.

Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin mencari mudharat yang paling ringan demi mewujudkan maslahat yang lebih besar.

Bantahannya:
Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan kemudharatannya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya suatu perkara? Apakah timbangan akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran dan syirik produk Barat? Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya selain kekufuran dan syirik.

Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah "memilih kemudharatan yang paling ringan."

Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.

Jika jawabannya mereka mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:

[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mereka yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka.

[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih besar dari mafsadah (kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita adalah kebalikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti menjadi:

Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat.

[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut.

Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah mungkin manhaj Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam ishlah (perbaikan) divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita mengenal Islam, kecuali melalui beliau صلی الله عليه وسلم?

[11] Mereka mengatakan: Bahwa beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang disyariatkannya pemungutan suara (pemilu) ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka (para ulama) hizbi ?

Jawabannya tentu saja tidakl
Amat jauh para ulama itu dari sangkaan mereka, karena beberapa alasan:

[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita, serta pemimpin da'wah yang penuh berkah ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam. Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka. Kita berlindung kepada Allah semoga mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan sebaliknya, merekalah yang telah memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah. Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali, melalui nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan tentang hizbiyah.

[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa) sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan. Bisa saja seorang datang kepada ulama dan bertanya:

Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui pemungutan suara dengan tujuan untuk mengenyahkan orang-orang sosialis dan sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh kami memilih seorang yang shalih untuk melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah soalnya!

Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh, pemungutan suara itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini dan begini, dengan menyebutkan sisi negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun) mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:

"Artinya : Sesungguhnya kalian akan mengadukan pertengkaran di antara kalian padaku, barang kali sebagian kalian lebih pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang siapa yang telah aku putuskan baginya dengan merebut hak saudaranya, maka yang dia ambil itu hanyalah potongan dari api neraka; hendaknya dia ambil atau dia tinggalkan" [Mutafaqun alaih]

Rasulullah صلی الله عليه وسلم juga telah memerintahkan kepada para qadi untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu Thalib:

"Artinya : Wahai Ali jika menghadap kepada engkau dua orang yang bersengketa, janganlah engkau putuskan antara mereka berdua, hingga engkau mendengar dari salah satu pihak sebagaimana engkau mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika engkau melakukan demikian, akan jelas bagi engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits Riwayat Ahmad]

Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah diharamkannya perkara-perkara yang sebelumnya halal, disebabkan pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat Saad bin Abi Waqas رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya kejahatan seorang Muslim yang paling besar adalah bertanya tentang sebuah perkara yang belum diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]

Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan kemudharatan atas kaum Muslimin disebabkan pertanyaannya. Yaitu menghalangi mereka dari perkara-perkara halal sebelum pertanyaannya.

Hendaknya orang-orang yang melakukan tindakan berbahaya seperti ini bertaubat kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap orang-orang semacam itu.

[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini adalah haram disebabkan mafsadah yang ditimbulkannya. Apakah mereka akan mengundurkan diri dari kancah demokrasi dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat. Realita menunjukkan bahwa mereka hanya memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan untuk golongannya saja dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa ulama tidak menguntungkan golongan mereka, maka merekapun menghujatnya dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu a'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]


Siapa Yang Berhak Berpolitik ? Dan Kapan ?

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Menyibukkan diri dengan politik pada saat ini adalah membuang-buang waktu ! Meskipun kami tidak mengingkari adanya politik dalam Islam, hanya saja dalam waktu yang sama kami meyakini adanya tahapan-tahapan syar'i yang logis yang harus dilalui satu per satu.

Kami memulai dengan aqidah, yang kedua ibadah, kemudian akhlak, dengan mengadakan pemurnian dan pendidikan, kemudian akan datang suatu hari dimana kita pasti masuk dalam fase politik secara syar'i, karena berpolitik berarti mengatur urusan-urusan umat. Dan yang mengatur urusan-urusan umat ? Bukanlah Zaid, Bakar, ataupun Umar, yang mendirikan kelompok atau memimpin gerakan atau suatu jama'ah !! Bahkan urusan ini khusus bagi ulil amri yang dibaiat di hadapan kaum muslimin. Dia (ulil amri) lah yang diwajibkan mengetahui politik dan mengaturnya. Apabila kaum muslimin tidak bersatu -seperti keadaan kita saat ini- maka setiap ulil amri hanya berkuasa dan memikirkan sebatas wilayah kekuasaannya saja.

Adapun menyibukkan diri dalam urusan-urusan (politik) maka seandainya pun kita benar-benar mengetahui urusan-urusan tersebut, pengetahuan kita itu tidak memberi manfaat kepada kita, karena kita tidak memiliki keputusan dan wewenang untuk mengatur umat. Satu hal ini pun sudah cukup menjadikan usaha kita sia-sia.

Kami akan memberikan suatu contoh : Peperangan yang terjadi melawan kaum muslimin pada kebanyakan negeri-negeri Islam. Apakah bermanfaat jika kita menyulut semangat kaum muslimin untuk menghadapi orang kafir padahal kita tidak memiliki "jihad wajib" yang diatur oleh imam yang bertanggung jawab yang telah dibaiat ?! Tidak ada gunanya perbuatan tersebut. Kami tidak berkata bahwa menolong orang-orang yang tertindas itu tidak wajib, akan tetapi kami mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan politik bukan sekarang waktunya. Oleh karena itu, wajib atas kita untuk mengajak kaum muslimin kepada dakwah, untuk memahamkan mereka kepada Islam yang benar dan mendidik mereka dengan tarbiyah yang benar.

Adapun menyibukkan mereka dengan urusan-urusan emosional yang menyentil semangat, maka hal itu termasuk dalam hal-hal yang dapat memalingkan mereka dari kemantapan dalam memahami da'wah yang wajib ditegakkan oleh setiap muslim mukallaf, seperti memperbaiki aqidah, ibadah, dan akhlak. Dan hal itu termasuk fardhu 'ain yang tidak bisa dimaklumi orang yang melalaikannya. Sedangkan urusan-urusan lain yang dinamakan pada saat ini dengan "fiqhul waqi" dan sibuk dengan urusan politik yang merupakan tanggung jawab ahlul halli wal aqdi, yang dengan kekuasaan mereka, mereka bisa mengambil manfaat dari hal yang demikian secara praktek. Adapun sebagian orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka mengetahui politik dan menyibukkan mayoritas manusia dengan sesuatu yang penting daripada sesuatu yang lebih penting adalah termasuk sebagai hal-hal yang memalingkan mereka dari pengetahuan yang benar!.

Dan inilah yang kami rasakan sesungguhnya pada kebanyakan dari manhaj kelompok-kelompok dan jama'ah-jama'ah Islam pada saat ini. Dimana kami mengetahui bahwa sebagian mereka berpaling dari mengajari pemuda-pemuda muslim yang berkumpul disekitar da'i itu untuk belajar memahami aqidah, ibadah dan akhlak yang benar. Karena sebagian para da'i itu sibuk dengan urusan politik dan masuk ke parlemen-parlemen yang berhukum dengan selain apa-apa yang Allah turunkan!! Sehingga hal itu memalingkan mereka dari hal yang lebih penting dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dalam kondisi seperti sekarang ini.

Adapun tentang apa-apa yang termuat dalam pertanyaan yaitu tentang bagaimana seorang muslim berlepas diri dari dosa (tanggung jawab) atau bagaimana seorang muslim berperan serta dalam mengubah kenyataan yang pahit ini, maka kami katakan : Setiap muslim berkewajiban berbuat sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seorang ulama mempunyai kewajiban yang berbeda dengan yang bukan ulama. Dan sebagaimana yang saya sebutkan dalam kesempatan seperti ini bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan nikmat-Nya dengan kitab-Nya, dan dia menjadikan Al-Qur'an sebagai undang-undang bagi kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالى.

"Artinya : Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya". [Al-Anbiya : 7].

Allah سبحانه و تعالى telah menjadikan masyarakat Islam menjadi dua bagian yaitu orang yang berilmu dan yang bukan berilmu (awam). Dan Allah mewajibkan kepada masing-masing di antara keduanya apa-apa yang tidak Allah wajibkan kepada yang lainnya. Maka kewajiban atas orang-orang yang bukan ulama adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli ilmu. Dan kewajiban atas para ulama adalah hendaknya menjawab apa-apa yang ditanyakan kepada mereka. Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu itu sendiri. Seorang yang berilmu pada saat ini kewajibannya adalah berda'wah mengajak kepada da'wah yang hak sesuai dengan batas kemampuannya. Dan orang yang bukan berilmu kewajibannya adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi dirinya atau bagi orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya seperti istri, anak atau semisalnya. Sehingga apabila seorang muslim dari masing-masing bagian ini menegakkan kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allah سبحانه و تعالى berfirman.

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". [Al-Baqarah : 286]

Kami -dengan sangat prihatin- hidup ditengah-tengah penderitaan dan kejadian-kejadian tragis yang menimpa kaum muslimin yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, yaitu berkumpul dan bersatunya orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم seperti dalam hadits beliau yang dikenal dan shahih.

"Artinya : 'Telah berkumpul umat-umat untuk menghadapi kalian, sebagaimana orang-orang yang makan berkumpul menghadapi piringnya'. Mereka berkata : Apakah pada saat itu kami sedikit wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : 'Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan, dan Allah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kalian kepada kalian, dan Allah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn'. Mereka berkata : Apakah penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab :'Cinta dunia dan takut akan mati". [Haadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (4297), Ahmad (5/287), dari hadits Tsaubah رضي الله عنه, dan dishahihkan oelh Al-Albani dengan dua jalannya tersebut dalam As-Shahihah (958)]

Kalau begitu, maka wajib atas para ulama untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah dan tarbiyah dengan cara mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar serta ibadah-ibadah dan akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya masing-masaing di negeri-negeri yang dia diami, karena mereka tidak mampu menegakkan jihad menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka keadaannya seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga mereka tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk menghadapi musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi kewajiban mereka adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar'i yang memungkinkan untuk dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan materi, dan seandainya kita mampu pun, kita tidak mampu bergerak, karena terdapat pemerintahan, pemimpin dan penguasa-penguasa dalam kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin menjalankan politik yang tidak sesuai dengan politik syar'i, sangat disesalkan sekali. Akan tetapi kita mampu merealisasikan -dengan izin Allah سبحانه و تعالى- dua perkara agung yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian) dan tarbiyah (pendidikan). Dan ketika para da'i muslim menegakkan kewajiban yang sangat penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan politik syar'i, dan mereka bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan tarbiyah), maka saya yakin pada suatu hari akan terjadi apa yang Allah katakan :

"Artinya : Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah". [Ar-Ruum : 4-5]

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 44-51, terbitan Darul Haq, Penerjemah Fariq Gasim Anuz]

Kategori: Demokrasi Dan Politik
Sumber: http://www.almanhaj.or.id


Demokrasi Dan Pemilu

Oleh : Syaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i


Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, memohon pertolongan dan berlindung kepadaNya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita, siapa yang diberi petunjuk oleh Allah niscaya dia akan tertunjuki, sedang siapa yang disesatkan Allah tiada yang mampu memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Amma ba'du

Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para ulama supaya mereka menjelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (syari'at ini), Allah berfirman.

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) : "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya" [Ali-Imron : 187]

Allah melaknat orang yang menyembunyikan ilmunya.

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. [Al-Baqarah : 159-160]

Dan Allah mengancam mereka dengan neraka.

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. [Al-baqarah : 174]

Sebagai pengamalan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

Artinya : Agama itu adalah nasehat, kami bertanya : Bagi siapa wahai Rasulullah ?Jawab beliau : Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan mayarakat umum. [Hadit Riwayat Muslim]

Dan mencermati beragam musibah yang menimpa umat Islam dan pemikiran-pemikiran yang disusupkan oleh komplotan musuh terutama pemikiran import yang merusak aqidah dan syariat umat, maka wajib bagi setiap orang yang dikarunia ilmu agama oleh Allah agar memberi penjelasan hukum Allah dalam beberapa masalah berikut.

DEMOKRASI
Menurut pencetus dan pengusungnya, demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, -pent). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak. Pemikiran ini bertentangan dengan syari'at Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman.

Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. [Al-An'am : 57]

Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. [Al-Maidah : 44]

Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah ? [As-Syura : 21]

Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.[An-Nisa : 65]

Artinya : Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan.[Al-Kahfi : 26]

Sebab demokrasi merupakan undang-undang thagut, padahal kita diperintahkan agar mengingkarinya, firmanNya.

Artinya : (Oleh karena itu) barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. [Al-Baqarah : 256]

Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thagut itu.[An-Nahl : 36]

Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab ? Mereka percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.[An-Nisa : 51]

DEMOKRASI BERLAWANAN DENGAN ISLAM, TIDAK AKAN MENYATU SELAMANYA.
Oleh karena itu hanya ada dua pilihan, beriman kepada Allah dan berhukum dengan hukumNya atau beriman kepada thagut dan berhukum dengan hukumnya. Setiap yang menyelisihi syari'at Allah pasti berasal dari thagut.

Adapun orang-orang yang berupaya menggolongkan demokrasi ke dalam sistem syura, pendapatnya tidak bisa diterima, sebab sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang belum ada nash (dalilnya) dan merupakan hak Ahli Halli wal Aqdi [1] yang anggotanya para ulama yang wara' (bersih dari segala pamrih). Demokrasi sangat berbeda dengan system syura seperti telah dijelaskan di muka.

BERSERIKAT
Merupakan bagian dari demokrasi, serikat ini ada dua macam :

[a] Serikat dalam politik (partai) dan,
[b] Serikat dalam pemikiran.

Maksud serikat pemikiran adalah manusia berada dalam naungan sistem demokrasi, mereka memiliki kebebasan untuk memeluk keyakinan apa saja sekehendaknya. Mereka bebas untuk keluar dari Islam (murtad), beralih agama menjadi yahudi, nasrani, atheis (anti tuhan), sosialis, atau sekuler. Sejatinya ini adalah kemurtadan yang nyata.

Allah berfirman.

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) ; Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan, sedang Allah mengetahui rahasia mereka.[Muhammad : 25]

Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.[Al-Baqarah : 217]

Adapun serikat politik (partai politik) maka membuka peluang bagi semua golongan untuk menguasai kaum muslimin dengan cara pemilu tanpa mempedulikan pemikiran dan keyakinan mereka, berarti penyamaan antara muslim dan non muslim.

Hal ini jelas-jelas menyelisihi dali-dalil qath'i (absolut) yang melarang kaum muslimin menyerahkan kepemimpinan kepada selain mereka.

Allah berfirman.

Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.[An-Nisa : 141]

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. [An-Nisa : 59]

Artinya : Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu (berbuat demikian) ; bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? [Al-Qolam : 35-36]

Karena serikat (bergolong-golongan) itu menyebabkan perpecahan dan perselisihan, lantaran itu mereka pasti mendapat adzab Allah. Allah memfirmankan.

Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.[Ali-Imran : 105]

Mereka juga pasti mendapatkan bara' dari Allah (Allah berlepas diri dari mereka). FirmanNya.

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamaNya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. [Al-An'am : 159]

Siapapun yang beranggapan bahwa berserikat ini hanya dalam program saja bukan dalam sistem atau disamakan dengan perbedaan madzhab fikih diantara ulama maka realita yang terpampang di hadapan kita membantahnya. Sebab program setiap partai muncul dari pemikiran dan aqidah mereka. Program sosialisme berangkat dari pemikiran dasar sosialisme, sekularisme berangkat dari dasar-dasar demokrasi, begitu seterusnya.

[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2 Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43]
_________
Foote Note.
[1] Ahlu Halli wal Aqdi tersusun dari dua kata Al-Hillu dan Al-Aqdu. Al-Hillu berarti penguraian, pelepasan, pembebasan dll. Sedang Al-Aqdu berarti pengikatan, penyimpulan, perjanjian dll. Maksudnya yaitu semacam dewan yang menentukan undang-undang yang mengatur urusan kaum muslimin, perpolitikan, manajemen, pembuatan undang-undang, kehakiman dan semisalnya. Semua hal tersebut suatu saat bisa direvisi lagi dan disusun yang baru [Lihat kitab Ahlu Halli wal Aqdi, Sifatuhum wa Wadha'ifuhum. Dr Abdullah bin Ibrahim At-Thoriqi, Rabithah Alam Islami, -pent]


PERSEKUTUAN DAN KOALISI DENGAN KELOMPOK SEKULER
Tahaluf (persekutuan) adalah kesepakatan antara dua kelompok yang bersekutu pada satu urusan, keduanya saling menolong.

Tansiq (koalisi) adalah suatu tandhim (sistem) yaitu semua partai berada dalam satu sistem yang menyeluruh dan menyatu. Tandhim lebih tertata ketimbang persekutuan.

Bila koalisi ini bertujuan menyokong demokrasi berserikat, pemikiran dan usaha meraih kekuasaan yang dicanangkan oleh partai-partai Islam di beberapa negara Islam bekerjasama dengan partai sekuler maka pungkasannya adalah seperti persekutuan antara orang-orang Yaman dengan partai Bats sosialis untuk melancarkan perbaikan. Persekutuan dan koalisi model begini diharamkan, sebab termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Allah menfirmankan.

Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[Al-Maidah : 2]

Artinya : Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain dari pada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.[Hud : 113]

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. [Ali-Imron : 118]

Selain mengandung implikasi terwujudnya kecintaan antara golongan tersebut (antara muslim dan non muslim,-pent), hal ini juga menggerus pondasi wala' dan bara' (loyalitas dan sikap berlepas diri). Padahal keduanya merupakan tali iman yang terkokoh. Allah berfirman.

Artinya : Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. [Al-Maidah : 51]

Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda.

Artinya : Seseorang itu dikelompokkan bersama orang yang dia cintai.[Muttafaqun Alaihi]

Orang-orang yang melegalkan persekutuan dan koalisi berdalil dengan beberapa dalil, namun dalil-dalil tersebut tidak menunjukkan apa yang mereka kehendaki, diantaranya ;

[A] Persekutuan Nabi صلی الله عليه وسلم Dengan Orang Yahudi

Jawabannya sebagai berikut :
[1] Haditsnya tidak shahih, karena mu'dhal (gugurnya dua orang rawi secara berurutan dalam silsilah sanadnya, -pent)
[2] Pasal-pasal dalam persekutuan yang dijadikan pijakan -jika ini benar- maka menyelisihi isi dari persekutuan tadi.
[3] Hukum bagi yahudi dan bagi orang-orang yang enggan menerapkan syari'at Allah adalah berbeda.
[4] Mereka tidak dalam keadaan terpaksa (dharurat) sebab keadaan dharurat yang sesuai dengan syar'iat tidak terwujud, lantaran syarat darurat tidak ada.
[5] Kalaulah hadits tentang persekutuan Nabi dengan yahudi itu shahih, tetapi hukumnya mansukh (terhapus) dengan hukum-hukum jizyah (upeti yang diserahkan oleh orang-orang non muslim yang berada dalam kawasan negara Islam sebagai imbalan jaminan keamanan dan menetapnya mereka, -pent)
[6] Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjalankan pemerintah Islam, sedangkan jama'ah dan partai yang terjun di medan dakwah tidak boleh memposisikan diri mereka sebagai pemerintah Islam.
[7] Orang-orang yahudi tersebut berada dalam naungan negara Islam, oleh karena itu tidak akan terwujud persekutuan antara golongan yang sederajat.

[B] Persekutuan Nabi صلی الله عليه وسلم Dengan Bani Khuza'ah

Jawabannya sebagai berikut :
[1] Yang benar, Bani Khuza'ah adalah muslimin, buktinya, tersebut dalam sejarah mereka mengatakan : Kami telah memeluk Islam dan kami tidak mencabut ketaatan, namun mereka membunuh kami sedang kami dalam keadaan ruku dan sujud.
[2] Andaikan saja mereka itu masih musyrik, tetapi hukum kafir asli berbeda dengan hukum bagi orang-orang yang menolak hukum Islam.
[3] Isi persekutuan yang ada sekarang ini bebeda dengan isi persekutuan dengan bani Khuza'ah ; pasal-pasal kesepakatan partai itu telah diisyaratkan di muka sedangkan pasal-pasal kesepakatan dengan Khuza'ah tidak mengandung penyelewengan dari kebenaran dan tidak ada kerelaan kepada kebatilan.

[C] Perlindungan Yang Diberikan Muth'im bin Adi dan Abu Thalib Kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

Jawabannya :
Ini strategi beliau mensiasati keadaan dan beliau masih bebas untuk berdakwah.

KONTRAKDIKSI YANG MENIMPA MEREKA
Suatu kali mereka menyebut Partai Sekuler, kali lain mengatakan Perbedaan golongan ini hanya dalam program bukan perbedaan manhaj, kali lainnya lagi mengucapkan Partai itu sekarang telah murtad, namun mereka telah bertobat, lantaran itu mereka menerima ke-Islaman dan pertobatan mereka. Lantas mengapa mereka berdalih bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersekutu dengan yahudi dan orang-orang musyrik, jika mereka telah memvonis bahwa partai tertentu kafir, lalu mengapa mereka masih mengadakan persekutuan ? Ini kontradiksi yang nyata. Andai taubat mereka jujur, maka menurut syari'at harus memenuhi hal-hal berikut :

[1] Harus mengumumkan pelepasan diri mereka dari keyakinan mereka yang terdahulu dan atribut-atribut ketenaran mereka, dan mengakui kesalahan manhaj mereka yang dahulu.

[2] Menghilangkan anasir yang menentang Islam dari diri mereka secara lahir batin.

Dalih Yang Menjadi Pegangan Mereka Yaitu Perjanjian Hudaibiyyah.

Jawabnya :
[1] Pemerintah Islam berhak mengikat perjanjian dengan musuh mereka jika dipandang maslahatnya lebih banyak ketimbang mafsadahnya.

[2] Pada perjanjian Hudaibiyyah tidak terdapat sikap mengalah, tidak seperti sikap partai-partai itu. Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengganti tulisan Ar-Rahman Ar-Rahiim dengan Bismika Allah. Adapun beliau tidak menuliskan kalimat Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bukan merupakan bukti bahwa beliau menghapus risalah dari dirinya, tetapi justru mengucapkan : Demi Allah, aku benar-benar utusan Allah.

[3] Terjadinya perjanjian Hudaibiyyah itu menghasilkan maslahat (kebaikan) nyata yaitu pengagungan kemuliaan Allah, bandingkan dengan dampak yang muncul akibat persekutuan dan koalisi tersebut.

[4] Hukum bagi kafir asli dan bagi orang yang enggan menerapkan hukum Islam berbeda.

PEMILIHAN UMUM
Termasuk sistem demokrasi pula, oleh karena itu diharamkan, sebab orang yang dipilih dan yang memilih untuk memegang kepemimpinan umum atau khusus tidak disyaratkan memenuhi syarat-syarat yang sesuai syariat. Metode ini memberi peluang kepada orang yang tidak berhak memegang kepemimpinan untuk memegangnya. Karena tujuan dari orang yang dipilih tersebut adalah duduk di dewan pembuat undang-undang (Legislatif) yang mana dewan ini tidak memakai hukum Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم, namun yang jadi hukum adalah Suara Mayoritas. Ini adalah dewan thagut, tidak boleh diakui, apalagi berupaya untuk menggagas dan bekerjasama untuk membentuknya. Sebab dewan ini memerangi hukum Allah dan merupakan sistem barat, produk yahudi dan nashara, oleh karena itu tidak boleh meniru mereka.

Bila ada yang membantah : Sebab di dalam syari'at Islam tidak terdapat metode tertentu untuk memilih pemimpin, lantaran itu pemilu tidak dilarang.

Jawabannya : Pendapat tersebut tidak benar, sebab para sahabat telah menerapkan metode tersebut dalam memilih pemimpin dan ini merupakan metode syar'i. Adapun metode yang ditempuh partai-partai politik, tidak memiliki patokan-patokan pasti, ini sudah cukup sebagai larangan bagi metode itu, akibatnya orang non muslim berpeluang memimpin kaum muslimin, tidak ada seorangpun dari kalangan ahli fikih yang membolehkan hal itu.

AKTIVITAS POLITIK
Partai-partai politik memiliki kesepakatan-kesepakatan antara mereka untuk tidak saling mengkafirkan dan bersepakat untuk mengukuhkan dasar-dasar demokrasi. Sedangkan hukum Islam dalam masalah ini adalah mengkafirkan orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya, memberi cap fasiq kepada orang yang di cap fasiq oleh Allah dan RasulNya dan memberi cap sesat kepada orang yang diberi cap sesat oleh Allah dan RasulNya. Islam tidak mengenal pengampunan (grasi/amnesti dari pemerintah, -pent). Mengkafirkan seorang muslim yang tercebur dalam maksiat bukan termasuk manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah selama dia tidak menghalalkan kemaksiatan tersebut. Adapun undang-undang produk manusia diantaranya undang-undang Yaman, telah dijelaskan oleh ulama Yaman bahwa di dalamnya terkandung penyelisihan terhadap syari'at.

METODE DAKWAH KITA YANG WAJIB DIKETAHUI OLEH MASYARAKAT
[1] Kita mendakwahi manusia untuk berpegang dengan Al-Qur'an dan Sunnah secara hikmah, nasehat yang baik selaras dengan pemahaman para Salaf.

[2] Kita memandang bahwa kewajiban syar'i terpenting adalah menghadapi pemikiran import dan bid'ah-bid'ah yang disusupkan ke dalam Islam dengan cara menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dakwah, menggugah kesadaran umat, meluruskan keyakinan-keyakinan dan pemahaman yang keliru dan menyatukan kaum muslimin dalam lingkup semua tadi.

[3] Kami memandang bahwa umat Islam tidak membutuhkan revolusi, penculikan dan penyebaran fitnah. Namun yang dibutuhkan adalah pendidikan iman dan pemurnian. Ini merupakan saran paling vital untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat.

[4] Sebagai penutup kami akan memperingatkan bahwa motif yang melatari munculnya uraian ini adalah kami melihat sebagian ulama dan khususnya ulama negara Yaman membicarakan permasalahan yang dipakai pijakan oleh partai-partai politik Islam. Mereka bermaksud meletakkan landasan syar'i bagi permasalahan tersebut, padahal masalah tersebut mengandung kontradiksi dan kesalahan-kesalahan ditinjau dari sisi syar'i. Perlu diketahui bahwa mereka tidak mewakili kaum muslimin namun hanya mewakili diri mereka sendiri dan partai mereka saja. Yang jadi mizan adalah dalil bukan jumlah mayoritas dan bukan desas-desus.

Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada pemimpin kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabat beliau. Segala puji bagi Allah.

Penandatangan fatwa ini adalah :
[1] Syaikh Muhamad Nashiruddin Al-Albani
[2] Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i
[3] Syaikh Abdul Majid Ar-Rimi.
[4] Syaikh Abu Nashr Abdullah bin Muhammad Al-Imam
[5] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washshabi, dll.

[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2 Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43]

Kategori: Demokrasi Dan Politik
Sumber: http://www.almanhaj.or.id

Rabu, 15 April 2009

Adab-Adab Menyembelih Hewan

Oleh : Syaikh Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli dan Syaikh Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah

[1]. Haram Menyembelih Untuk Selain Allah

Abu Thufail Amir bin Watsilah berkata : "Aku berada di sisi Ali bin Abi Thalib, lalu datanglah seseorang menemuinya, orang itu bertanya :"Apakah Nabi صلی الله عليه وسلم ada merahasiakan sesuatu kepadamu?"

Abu Thufail berkata : "Mendengar ucapan tersebut, Ali marah dan berkata : "Tidaklah Nabi صلی الله عليه وسلم merahasiakan sesuatu kepadaku yang beliau sembunyikan dari manusia kecuali beliau telah menceritakan padaku empat perkara : "Orang itu berkata : "Apa itu yang Amirul Mukminin ?" Ali berkata : "Beliau bersabda :

"Artinya : Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah dan Allah melaknat orang yang memberi tempat bagi orang yang membuat bid'ah dan Allah melaknat orang yang merubah tanda-tanda di bumi" [1]

Maka tidak boleh menyembelih untuk selain Allah berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang melarang dari semisal perbuatan tersebut. Adapun yang diperbuat oleh orang awam pada hari ini dengan menyembelih untuk para wali maka masuk dalam laknat yang disebutkan dalam hadits ini, karena sembelihan untuk wali adalah sembelihan untuk selain Allah.

[2]. Berbuat Kasih Sayang Pada Kambing

Dari Qurrah bin Iyyas Al-Muzani : Bahwa ada seorang lelaki berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mengasihi kambing jika aku menyembelihnya". Maka beliau صلی الله عليه وسلم bersabda :

"Artinya : Jika engkau mengasihinya maka Allah merahmatinya" [2]

[3]. Berbuat Baik (Ihsan) Ketika Menyembelih

Dengan melakukan beberapa perkara :
[a]. Menajamkan Parang
Dari Syaddad bin Aus رضي الله عنه ia berkata : "Dua hal yang aku hafal dari Nabi صلی الله عليه وسلم beliau berkata.
"Artinya : Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam qishah,-pent) maka berbuat ihsanlah dalam cara membunuh dan jika kalian menyembelih makan berbuat ihsanlah dalam cara menyembelih, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan parangnya dan menyenangkan semebelihannya" [3]

[b]. Menjauh Dari Penglihatan Kambing Ketika Menajamkan Parang
Dalam hal ini ada beberapa hadits di antaranya.
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنه ia berkata : "Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengamati seorang lelaki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia mengasah perangnya sedangkan kambing tersebut memandang kepadanya, maka beliau mengatakan.

"Tidaklah diterima hal ini. Apakah engkau ingin benar-benar mematikannya. (dalam riwayat lain : Apakah engkau ingin mematikannya dengan beberapa kematian)" [4]

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه ia berkata.

"Artinya : Jika salah seorang dari kalian menajamkan parangnya maka janganlah ia menajamkannya dalam keadaan kambing yang akan disembelih melihatnya" [5]

[c]. Menggiring Kambing Ke Tempat Penyembelihan Dengan Baik
Ibnu Sirin mengatakan bahwa Umar رضي الله عنه melihat seseorang menyeret kambing untuk disembelih lalu ia memukulnya dengan pecut, maka Umar berkata dengan mencelanya :

"Giring hewan ini kepada kematian dengan baik" [5]

[d]. Membaringkan Hewan Yang Akan Disembelih
Aisyah رضي الله عنها menyatakan bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم memerintahkan untuk dibawakan kibas, lalu beliau mengambil kibas itu dan membaringkannya kemudian beliau صلی الله عليه وسلم menyembelihnya" [6]

Berkata Imam Nawawi dalam Syarhun Shahih Muslim (13/130) : "Hadits ini menunjukkan sunnahnya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing itu berdiri atau berlutut tetapi dalam keadaan berbaring karena lebih mudah bagi kambing tersebut dan hadits-hadits yang ada menuntunkan demikian juga kesepakatan kaum muslimin. Ulama sepakat dan juga amalan kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan pada sisi kirinya karena cara ini lebih mudah bagi orang yang menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri".

[e]. Tempat (Bagian Tubuh) Yang Disembelih
Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata.

"Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan dan labah" [7]

Labah adalah lekuk yang ada di atas dada dan unta juga disembelih di daerah ini. [8]

[4]. Menghadapkan Hewan Sembelihan Ke Arah Kiblat

Nafi' menyatakan bahwa Ibnu Umar tidak suka memakan sembelihan yang ketika disembelih tidak diarahkan kea rah kiblat.[8]

[5]. Meletakkan Telapak Kaki Di Atas Sisi Hewan Sembelihan

Anas bin Malik رضي الله عنه berkata.

"Rasulullah menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut' [9]

[6]. Tasmiyah (Mengucapkan Bismillah)

Berdasarkan firman Allah Ta'ala

"Artinya : Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaithan itu mewahyukan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) untuk membantah kalian" [Al-An'am : 121]

Anas bin Malik رضي الله عنه berkata :

"Artinya : Rasulullah menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan ... Beliau mengucap bismillah dan bertakbir"

Dan dalam riwayat Muslim :

"Beliau mengatakan Bismillah wallahu Akbar".

Siapa yang lupa untuk mengucap basmalah maka tidak apa-apa. Ibnu Abbas رضى الله عنهما pernah ditanya tentang orang yang lupa bertasmiyah (membaca basmalah) maka beliau menjawab : "Tidak apa-apa" [10]

[7]. Tidak Boleh Menggunakan Taring/Gading Dan Kuku Ketika Menyembelih Kambing

Dari Ubadah bin Rafi' dari kakeknya ia berkata : "Ya Rasulullah, kami tidak memiliki pisau besar (untuk menyembelih)". Maka beliau صلی الله عليه وسلم bersabda.

"Artinya : Hewan yang telah dialirkan darhanya dengan menggunakan alat selain dzufur (kuku) dan sinn (taring/gading) maka makanlah. Adapun dzufur merupakan pisaunya bangsa Habasyah sedankan sinn adalah idzam" [11]

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah, Edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah Abu Abdirrahman, Penerbit Pustaka Al-Haura]
_________
Foote Note
[1]. Shahih. Dikeluarkan oleh Muslim (13/1978-Nawawi), An-Nasai (7/232) Ahmad (1/108-118) dari hadits Ibnu Abbas yang juga dikeluarkan oleh Ahmad (1/217-39-317) dan Abu Ya'la (4/2539)
[2]. Shahih. Dikeluarkan oleh Al-Hakim (3/586), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (373), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (19/44-45-46), dalam Al-Ausathh (161) dan Ash-Shaghir (1/109) dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (2/302-6/343)
[3]. Shahih. Dikeluarkan oleh Muslim (13/1955-Nawawi), Ibnu Majah (3670), Abdurrazzaq (8603-8604) dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (899)
[4]. Shahih, Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (9/280), Al-Hakim (3/233), Abdurrazzaq (8609) dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan hadits ini memang shahih sebagaimana dikatakan keduanya.
Isnad Al-Baihaqi rijalnya tsiqat dan rawi yang bernama Abdullah bin Ja'far Al-Farisi kata Adz-Dzahabi dalam As-Siyar : "Imam Al-Alamah ilmu Nahwu ia menulis beberapa karya tulis dan ia diberi rezki dengan isnad yang 'ali, beliau tsiqah dan ditsiqahkan oleh Ibnu Mandah"
[5]. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq 98606-8608) dengan sanad yang ada didalamnya ada kelemahan karena bercampurnya hafalan Shalih Maula At-Tauamah.
[6]. Dikeluarkan oleh Al-baihaqi (9/281), Abdurrazzaq (8605) dan isnadnya munqathi (terputus), karena Ibnu Sirin tidak bertemu dengan Umar, maka isnadnya dlaif. Namun keumuman hadits dan hadits yang mengharuskan bersikap rahmah pada kambing menjadi syahid baginya hingga hadits ini maknanya shahih.
[7]. Shahih. Dikeluarkan oleh Muslim (13/1967-Nawawi), Abu Daud (2792) dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/276-280-286)
[8]. Shahih diriwayatkan Abdurrazzaq (8615)
[9]. An-Nihayah Fi Gharibil Hadits oleh Ibnul Atsir (4/223)
[10]. Shahih. Diriwayatkan Abdurrazzaq (8605), dan di sisi Al-Baihaqi (9/280) dan jalan Ibnu Juraij dan Nafi bahwasanya : "Ibnu Umar menganggap sunnah untuk menghadapkan sembelihan ke arah kiblat jika disembelih". Ibnu Juraij ini mudallis dan ia meriwayatkan dengan 'an'anah.
[11]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (10/18-Fathul Bari), Muslim (13/1966-Nawawi), Abu Daud (2794), Al-Baihaqi (9/258-259) dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (909)
[11]. Shahih. Diriwayatkan Malik (2141-riwayat Abi Mush'ab Az-Zuhri) dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/624)
[12]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/630-31-633-638-Fathul bari), Muslim (13/1966-Nawawi), Abu Daud (2821), Al-Baihaqi (9/281) dan Abudrrazzaq (8618), Ath-Thahawi dalam Maanil Atsar (4/183)

Kategori: Makanan, Sembelihan
Sumber: http://www.almanhaj.or.id

HUKUM MENURUNKAN PAKAIAN (ISBAL) BAGI PRIA

Oleh : Syaikh Abdullah Bin Jarullah Al-Jarullah

Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda :

"Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" [Hadits Riwayat Bukhari]

Dan beliau juga berkata lagi:

"Allah tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong".

Dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :

"Allah tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena sombong." [Hadits Riwayat Malik, Bukhari, dan Muslim]

Dan beliau صلی الله عليه وسلم juga bersabda :

"Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Nasa'i]

Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al Mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.

Dalam sebuah hadist yang berbunyi :

"Ketika seseorang berjalan dengan memakai prhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. [Mutafaqqun 'Alaihi]

Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda :

"Isbal berlaku pada sarung, gamis, serban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah pada hari kiamat." [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad Shahih]

Hadist ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah صلی الله عليه وسلم mengabarkan dengan sabdanya :

"Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Shalihin dengan tahqiq Al Arnauth hal: 358]

Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran-kotoran. Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah. Oleh karena itu, wajib bagimu... wahai saudaraku muslimin..., untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Ta'ala dan RasulNya. Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah سبحانه و تعالى dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Dan hendaknya engkau menyesali atas apa yang telah engkau lakukan, berupa sikap tidak taat kepada Allah. Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah سبحانه و تعالى dimasa mendatang, karena Allah menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.

Ya Allah, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.

Ya Allah, berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.


[Disalin dari kitab Tadzkiirusy Syabaab Bimaa Jaa'a Fii Isbaalis Siyab, edisi Indonesia Hukum Isbal Menurunkan Pakaian Dibawah Mata Kaki, alih bahasa Muhammad Ali bin Ismail, hal 12-15 Terbitan Maktabah Adz-Dzahabi]

Kategori: Pakaian Dan Perhiasan
Sumber: http://www.almanhaj.or.id

HUKUM PARFUM BERALKOHOL

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bolehkah menggunakan parfum yang mengandung alkohol !?

Jawaban.
Parfum beralkohol yang berbentuk minyak dengan kadar alkohol rendah bukanlah najis, tetapi bisa menjadi haram. Hukumnya menjadi haram jika kadar alkohol pada minyak wangi ini tinggi sehingga bisa memabukkan. Dan jika hukumnya menjadi haram, maka meproduksi dan menjual belikannya pun ikut haram, sebagaimana dalam hadits-hadits shahih.

Untuk parfum yang masuk kategori haram tidak boleh dipakai dan diperjual-belikan. Karena secara umum terkena larangan berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى.

"Artinya : Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan" [Al-Ma'idah : 2]

Dan juga sabda beliau صلی الله عليه وسلم

"Artinya : Allah melaknat sepuluh (orang) dalam perkara khamar : Yang minum, yang menuangkan, yang minta dituangkan, yang membawa, yang minta dibawakan, penjualnya, pembelinya ... dst"

Oleh karena itu kami nasihatkan untuk menjauhi perdagangan minyak wangi beralkohol, terutama jika kadarnya mencapai 60%, 70% dan seterusnya. Sebab besar kemungkinan akan berubah menjadi minuman yang memabukkan.

Di dalam syari'at terdapat kaidah yang disebut "saddu dzaraai" (menutup sarana-sarana yang menuju perbuatan haram). Dan pengharaman khamar walaupun dalam jumlah yang sedikit termasuk dalam kaidah tersebut.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda.

"Artinya : Apa yang dalam jumlah banyak dapat memabukkan, maka sedikitnya pun haram".

Ringkasnya, tidak boleh menjual minyak wangi yang kadar alkoholnya tinggi.

[Disalin dari kitab Majmu'at Fatawa Al-Madinah Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Penerbit Media Hidayah]


Kategori: Pakaian Dan Perhiasan
Sumber: http://www.almanhaj.or.id

Hukum Memakai Parfum Yang Mengandung Alkohol

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah hokum menggunakan sebagian parfum yang mengandung sesuatu dari alkohol ?

Jawaban
Hukum asal penggunaan parfum dan wewangian yang biasanya dipakai oleh orang-orang adalah halal kecuali parfum yang memang sudah diketahui bahwa ia mengandung sesuatu yang mencegah penggunaannya dikarenakan kondisinya memabukkan, memabukkan bilamana sudah banyak, terdapat Janis atau semisalnya.

Sebab bila tidak demikian, pada dasarnya parfum-parfum yang banyak dipakai oleh orang-orang seperti kayu cendana, 'anbar, kasturi dan lain-lain adalah halal.

Bila seseorang mengetahui bahwa ada parfum yang mengandung bahan yang memabukkan atau bernajis sehingga mencegah penggunaannya, maka hendaknya dia meninggalkan hal itu, di antaranya adalah jenis Eau De Cologne sebab berdasarkan kesaksian para dokter telah terbukti ia tidak luput dari komposisi bahan yang memabukkan. Di dalam komposisinya terdapat banyak sekali bahan dari spritus yang memabukkan.

Maka, adalah wajib meninggalkannya kecuali seseorang mendapatkan ada jenis lain yang terhindar dari itu.

Sebenarnya, parfum-parfum yang telah dihalalkan oleh Allah sudah lebih dari cukup, alhamdulillah. Demikian pula bahwa minuman atau makanan yang dapat meyebabkan mabuk, wajib ditinggalkan.

Dalam hal ini, kaedah yang berlaku adalah 'Sesuatu yang menyebabkan mabuk adalah haram, baik ia banyak ataupun sedikit" Juga sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

"Artinya : Sesuatu yang (dalam jumlah) banyak dapat memabukkan, maka (dalam jumlah) sedikitnya pun haram hukumnya" [ Sunan An-Nasa'i, kitab Al-Asyribah 5607, Sunan Ibnu Majah, kitab Al-Asribah 3394]

Wallahu Waliyut Taufiq

[Majalah Al-Buhut, vol.33, hal.116 dari Syaikh bin Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 168 Darul Haq]

Hukum Memakai Parfum Yang Mengandung Alkohol

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah hokum menggunakan sebagian parfum yang mengandung sesuatu dari alkohol ?

Jawaban
Hukum asal penggunaan parfum dan wewangian yang biasanya dipakai oleh orang-orang adalah halal kecuali parfum yang memang sudah diketahui bahwa ia mengandung sesuatu yang mencegah penggunaannya dikarenakan kondisinya memabukkan, memabukkan bilamana sudah banyak, terdapat Janis atau semisalnya.

Sebab bila tidak demikian, pada dasarnya parfum-parfum yang banyak dipakai oleh orang-orang seperti kayu cendana, 'anbar, kasturi dan lain-lain adalah halal.

Bila seseorang mengetahui bahwa ada parfum yang mengandung bahan yang memabukkan atau bernajis sehingga mencegah penggunaannya, maka hendaknya dia meninggalkan hal itu, di antaranya adalah jenis Eau De Cologne sebab berdasarkan kesaksian para dokter telah terbukti ia tidak luput dari komposisi bahan yang memabukkan. Di dalam komposisinya terdapat banyak sekali bahan dari spritus yang memabukkan.

Maka, adalah wajib meninggalkannya kecuali seseorang mendapatkan ada jenis lain yang terhindar dari itu.

Sebenarnya, parfum-parfum yang telah dihalalkan oleh Allah sudah lebih dari cukup, alhamdulillah. Demikian pula bahwa minuman atau makanan yang dapat meyebabkan mabuk, wajib ditinggalkan.

Dalam hal ini, kaedah yang berlaku adalah 'Sesuatu yang menyebabkan mabuk adalah haram, baik ia banyak ataupun sedikit" Juga sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

"Artinya : Sesuatu yang (dalam jumlah) banyak dapat memabukkan, maka (dalam jumlah) sedikitnya pun haram hukumnya" [ Sunan An-Nasa'i, kitab Al-Asyribah 5607, Sunan Ibnu Majah, kitab Al-Asribah 3394]

Wallahu Waliyut Taufiq

[Majalah Al-Buhut, vol.33, hal.116 dari Syaikh bin Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 168 Darul Haq]